Lebih dari 16 tahun saya meninggalkan Tegal setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah dasar. Tepatnya sejak 1987 hingga pertengahan tahun 2005. Semarang, Bandung dan Yogyakarta adalah tiga kota yang penuh kenangan. Perjalanan panjang berlabuh di kota kecil wilayah pantai utara (pantura) Pulau Jawa. Di Indonesia, kota ini dikenal dengan Kota Batik. Secara geografis, Pekalongan tidak jauh dari Tegal sebagai kota kelahiran saya. Itu pula alasan mengapa memilih Kota Pekalongan sebagai tujuan akhir. Kota ini dekat dengan keluarga besar di Tegal, meskipun berbeda dengan pilihan yang dirancang sebelumnya.
Ada alasan lain hingga akhirnya kembali ke Tegal. Semua diawali dari kesendirian yang entah kapan berakhir. 5 bersaudara, laki-laki semua, dan kebetulan anak paling ujung. Waktu berlalu begitu cepat. Penantian giliran juga tampaknya tidak jelas. Putus komitmen dengan beberapa teman dekat pun terjadi hingga akhirnya sendiri. Alhamdulillah, semua berubah karena secarik kertas bertuliskan nomor kontak pribadi dan selembar foto. Tanpa pikir panjang, petualangan pun dimulai. Waktu itu, saya masih tinggal di Yogyakarta sambil mengajar di 2 perguran tinggi di Surakarta dan Yogyakarta.
Layaknya supir bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP), Yogyakarta-Tegal dijalani hampir 1 tahun untuk memastikan jalinan komitmen tersambung. Long Distance Relationship, istilah populernya. Jumat, pukul 08.00, tanggal 03 Desember 2004 adalah akhir dari "petualangan" panjang itu. Tuhan menghadirkan sparring partner hidup dengan caranya sendiri. Mungkin karena kasihan dengan saya dan kepepet tidak ada yang lain, akhirnya mau menerima. Barangkali serupa dengan peribahasa "sejauh burung terbang, pasti akan kembali ke sarangnya". Keluarga juga komentar begitu, "Sekolah jauh-jauh, jodohmu kok dekat rumah, nasib-nasib". Tapi hidup memang begitu, tapi semuanya indah, apalagi kalau ingat QS. Yunus (10) ayat 58.
Keberadaan partner hidup dan dua buah hati terasa benar-benar menikmati hidup yang sesungguhnya. Di kerumunan manusia, bagi sebagian orang, (kadang) justru memilih untuk menghindar dari berkeluarga. Salah satu pandangan berkomentar bahwa, keluarga sebagai beban hidup yang bisa menghambat karir dan kebebasan diri bagi pria maupun wanita. Sementara pandangan lain menyatakan bahwa, berkeluarga adalah sebuah deklarasi diri secara individual di tengah kerumunan tersebut. Panggilan "suami" dan "ayah" bagi seorang laki-laki adalah kepuasan batin, yang mampu mengangkat martabatnya di mata komunitasnya. Sebagaimana keyakinan semua orang, percayalah, maka jangan jomblo. Segeralah mencari pasangan dan halalkanlah, tentunya jika sudah siap dan memiliki bekal yang cukup. Menikah itu sunnatullah (hukum alam). Banyak orang bilang, "menikah itu nikmatnya hanya 5 %, sedangkan yang 95 % itu nikmat sekali". Apalagi sekarang muncul lagi fenomena "childfree", hidup tanpa memiliki anak. Dijamin tidak asyik. Dah gitu aja.