Hari Raya Idul Fitri, sering tradisi menyebutnya "lebaran", maknanya usai melampaui ujian menjalankan puasa Ramadhan selema sebulan penuh. Ceria, haru, sedih, berharap dan sejuta perasaan lainnya campur aduk dalam diri manusia, sesuai dengan orientasi dan pemaknaan seputar Ramadhan dan datangnya Idul Fitri. Jika ditebak hanya terjadi di Indonesia saja, keliru, karena tradisi religius ini juga dirayakan oleh umat Islam di seluruh belahan dunia. Namun, ada yang khas, hanya terjadi setahun sekali, khususnya di Indonesia (bila kurang, ditambahkan ya.)
1. Lebaran
Lebar - bar - bubar - bibar : artinya selesai. Jadi lebaran mempunyai makna selesainya masa Puasa. Kenapa dipakai kata itu, sepertinya mengandung 'filosofi' begitu beratnya menjalankan puasa, dan lebaran adalah hari bersuka ria. Ini menjadikan hari itu ditandai dengan nama 'Raya'.
Di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) tidak menyebut "Hari Raya Idul Fitri" dengan "Lebaran", tapi dengan "Riyadin", "Rioyo", atau "bada". Kata "lebaran" jarang sekali digunakan dan terdengar di Jawa.
2. Mudik
Mudik adalah kegiatan perantau / pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari bahasa Jawa "Mulih Dhisik" yang artinya pulang dulu. Mudik, di Indonesia, identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan (berkunjung) dengan orang tua. Tradisi mudik muncul pada beberapa negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Bangladesh.
3. Ketupat
a. Sejarah Ketupat
Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada hari yang disebut BAKDA KUPAT tersebut, di tanah jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyan ketupat dari daun kelapa muda. Setelah selesai dianyam, ketupak diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.
b. Arti Kata Ketupat
Dalam filosofi jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Kata kupat berasal dari suku kata "ku" = ngaku (mengakui) dan "pat" = lepat (kesalahan). Sehingga ketupat menjadi simbol mengakui kesalahannya. Ketupat atau kupat dalam bahasa jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat artinya mengakui kesalahan, dan laku papat artinya empat tindakan.
1) Ngaku lepat
Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khusunya orang tua.
2) Laku papat
Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah :
a) Lebaran
Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.
b) Luberan
Bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia.
c) Leburan
Maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.
d) Laburan
Berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun poemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Al-Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan menguatkan ikatan di antara kaum muslimin sering kali dimaknai sebagai ikatan fisik. Padahal ikatan yang membentuk silah (hubungan) bersumber dari hati sebagai pangkal niat baik untuk selalu menjalin ikatan dan hubungan antarkaum muslimin di mana pun, apalagi saudara. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengikatkan hubungan kabilah-kabilah di Madinah, khususnya Suku Aus dan Suku Khazraj.
Fenomena sekarang seringkali menunjukan hubungan atau ikatan dibangun karena ada ketergantungan harta, sehingga orang yang membutuhkan terikat hubungan karena membutuhkan harta orang yang memberi. Hubungan persaudaraan juga sering dilakukan demikian. Perlakuan saudara yang the have memposisikan saudara yang the poor sebagai sub ordinasi dalam hidup, sehingga tercipta ketergantungan persaudaraan yang semu. Inilah yang membedakan dengan al-hubb al-haqiqi. Karena cinta persaudaraan bersumber dari hati yang tulus sebagai saudara, bukan karena fasilitas harta yang membuat persaudaraaan terus terjalin. Di sinilah Allah menggerakan hati sebagai sumber ketulusan.
Semoga silaturrahmi kita dibangun dengan ketulusan hati yang mencerminkan cinta yang hakiki sebagai saudara yang terjalin karena hati, bukan karena ketergantungan harta. Semoga Allah SWT selalu membimbing hati kita.[]