Trotoar ku : Kemana kah engkau kini?

Trotoar "sebenarnya" adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar. Perlu tidaknya trotoar dapat diidentifikasikan oleh volume para pejalan kaki yang berjalan di jalan, tingkat kecelakaan antara kendaraan dengan pejalan kaki dan pengaduan/permintaan masyarakat. Demikian tulis Wikipedia

Penempatan Trotoar
Fasilitas pejalan kaki berupa trotoar ditempatkan di (1) Daerah perkotaan secara umum yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi, (2) Jalan yang memiliki rute angkutan umum yang tetap, (3) Daerah yang memiliki aktivitas kontinyu yang tinggi, seperti misalnya jalan-jalan, pasar dan pusat perkotaaan, (4) Lokasi yang memiliki kebutuhan/permintaan yang tinggi dengan periode yang pendek, seperti misalnya stasiun-stasiun kereta api, terminal bis, sekolah, rumah sakit, dan lapangan olah raga, dan (5) Lokasi yang mempunyai permintaan yang tinggi untuk hari-hari tertentu, misalnya lapangan/gelanggang olah raga, tempat ibadah

Kenyataan Trotoar di Indonesia
Pembangunan di negara kita yang tidak merata mendorong banyak penduduk, utamanya dari desa, untuk mengadu nasib di kota-kota besar. Lapangan kerja yang semakin menyempit, hingga pilihan kerja apapun dijalani, termasuk menjajakan barang dagangan apapun. Ketiadaan lahan dan biaya sewa lahan yang cukup mahal, menyebabkan warga urban "memperkosa" fasilitas publik untuk kepentingan dirinya. Trotoar bagi pejalan kaki beralih fungsi menjadi trotoar bagi pedagan urban (kaki lima). Jika ditanyakan siapa yang salah, pemerintah tidak menyediakan lahan yang murah, aparat keamanan tidak menertibkan, justru berkoloni dengan pungutan liar, warga urban (pedagan instan) melanggar hukum dan menyuap aparat. Demikian mata rantai yang tak mungkin terputus. Jangankan cerita tentang kota besar seperti Jakarta dan ibukota propinsi, gejala ini juga dilakukan dan dirasakan oleh warga hampir di kota-kota baik besar maupun kecil di seluruh Indonesia.

Ironi memang, di negara ini, sebenarnya pejalan kaki identik dengan mayoritas warga yang tidak memiliki kendaraan (miskin), meski tidak semuanya. Tetapi pejalan kaki harus berhadapan dengan warga urban (pedagang instan) yang mencari keuntungan, di atas penderitaan orang, melanggar hukum dan cukup arogan ketika berhadapan dengan pejalan kaki. Boleh jadi satu dari anda pembaca merasakan arogansi tersebut. Siapa yang salah, tiga elemen di atas jelas-jelas keliru secara sirkuler. Semoga ada kesadaran publik, tidak hanya oleh pedangan instan, tetapi oleh semua warga yang secara sengaja mengalihfungsikan fasilitas publik menjadi hal yang tidak sesuai fungsinya.
Categories:

    Tegal | Hari ini