Lebaran dengan Plat Merah


Pengantar

Di sebuah desa, warga masyarakat yang tidak pernah melihat sosok anak desa yang ternyata sekian tahun merantau ke kota sukses, dan di hari lebaran ia mudik, mengikuti tradisi tahunan. Terpananya semua pasang mata masyarakat -antara tahu dan tidak tahu- ia pulang dengan "tunggangan" yang berbeda, mewah, elegan, "plat merah" pula. Perbincangan antartetangga menyeruak hingga ke tempat yang semestinya tidak memperbincangkan aib orang (baca: ghibah), masjid tepatnya. Analisis pas-pasan bertebaran dari mulut ke mulut, seraya terlontar pertanyaan yang biasa muncul : "jadi apa dia", "mobilnya keren, sudah jadi pejabat kali", "jadi pejabat, kok nda mbetulin jalan kampung ya?", "eh, itu kan plat merah, dibeli pake uang rakyat, dari pajak, kok dipake sendiri, buat jalan-jalan pula, piye toh, embuh nyong ora ngerti", dan seterusnya.


Pajak dan Patriot Bangsa

"Anda ingin jadi patriot bangsa, tidak harus berjuang melawan penjajah seperti dulu, tetapi dengan taat membayar pajak, anda sudah menjadi patriot bangsa. Hari gini belum bayar pajak, apa kata dunia?" Biasa iklan, supaya jualan Direktorat Pajak laku dan dinilai berjasa dalam meningkatkan pendapat fiskal negara. Tapi lupakan saja itu. Dalam ilmu ekonomi, pajak merupakan salah satu pendapatan negara (fiskal) yang berasal dari para wajib pajak. Secara ideal, alokasi pajak diperuntukan untuk kepentingan rakyat, baik infra struktur maupun supra struktur. Seluruh Jembatan, jalan, gedung sekolah, perkantoran pemerintah dan fasilitas penunjang demi kelancaran sistem birokrasi.


Etika kebijakan publik mengatakan bahwa keputusan birokrasi harus untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan inventaris negara yang berasal dari belanja negara harus untuk kepentingan rakyat. Gedung sekolah dibangun guna mencerdaskan bangsa, jembatan di bangun demi memperlancar transportasi untuk menggerakan sistem distribusi bahan ekonomi (makanan), demikian halnya dengan fasilitas negara demi memperlancar kinerja aparat birokrasi juga diberikan dari hasil pajak demi kesejahteraan rakyat. Birokrat yang baik adalah ketika merencanakan program dan memutuskan untuk mengimplementasikannya dengan pertimbangan demi kesejahteraan rakyat. Mobilitas kerja yang tinggi, rapat, kunjungan kerja, inspeksi, penyerapan aspirasi, temu warga, semua menggunakan transportasi fasilitas negara yang berasal dari pajak. Inilah yang lazim disebut Plat Merah. Enak tapi panas, bagi birokrat yang sadar dan yang menyadari.


Plat Merah

Hanya pejabat struktural yang bisa menikmat fasilitas ini. Ia dibeli dengan uang pajak dan digunakan oleh pejabat yang "semestinya" melayani rakyat. Pemakai sering membuat iri pihak lain, apalagi bila new type and full-perfect body, nyaman rasanya. Terkadang memakai plat merah "tanpa perasaan", tetapi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (baca : kerusakan) -padahal ulah sendiri- pemakai menyodorkan nota atau kwitansi untuk dicairkan kompensasinya ke bendahara. Aneh memang, padahal kepentingannya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan negara, apalagi kepentingan rakyat. Piye toh iki.


Bagi para pegiat korupsi, perilaku tersebut termasuk kategori korupsi. Diberitakan, dalam website resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa perilaku menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dilarang oleh KPK. Menurut salah satu Komisioner KPK, Busyro Muqoddas, Wakil Ketua KPK, saat ditemui wartawan di kantornya, Rabu (31/7), tindakan para penyelenggara negara termasuk PNS di dalamnya yang nekad menggunakan mobil dinas sebagai kendaraaan mudik tersebut termasuk tindakan tidak benar dan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. "Itu namanya abuse of power, abuse of amanah," tandasnya. Persoalannya adalah apakah pejabat atau "orang" yang bersangkutan sadar, memiliki hati nurani, punya rasa malu, atau punya harga diri untuk tidak menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi, yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan dinas atau demi kepentingan rakyat.


Terserah

KPK sudah melarang, instansi sudah memberikan teguran, masyarakat sudah mengecam, teman sejawat sudah mengingatkan, bahkan Allah pun tidak suka dengan perilaku ini, apalagi kok Roqib dan Atid. Bagi "pelaku" yang penting nyaman di perjalanan, bisa berkumpul dengan keluarga, bersilaturrahmi dengan keluarga besar. "Tujuannya yang mulia hendaknya difasilitasi oleh proses yang mulia pula", begitu kan seharusnya. Tetapi terserahlah, toh yang jadi pejabat dia, yang dikecam masyarakat dia, yang "dibenci" Tuhan dia, yang disorot publik dia, apa urusannya dengan saya. Mudah-mudahan hati nurani menang, hidup puasa. Selamat Idul Fitri.


Kholash ...
Categories:

    Tegal | Hari ini